Fiqh Muamalah Kontemporer : SAHAM DAN OBLIGASI SYARIAH

SAHAM DAN OBLIGASI SYARIAH
Makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fiqh Muamalah Kontemporer”
Dosen Pembimbing:
Muflihatul Bariroh.,M.S.I

Oleh Kelompok 11
Nama Anggota :
1. Naeli Azizah [ 1742143184 ]
2. Nana Ristiana [ 1742143187 ]

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
Ekonomi Syariah III-E
TAHUN PELAJARAN 2015/2016
Jalan Mayor Sujadi Timur No.46 Tulungagung

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saham dan obligasi adalah termasuk sistem ekonomi modern (mu’amalah mu’aashirah), dan kiranya masih sedikit ulama’ yang membahasnya dalam perspektif hukum Islam, padahal umat Islam telah lama dihadapkan dengan fenomena mu’amalah tersebut sebagai akibat globalisasi ekonomi dan moneter serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern (IPTEK).
Sebelum berbicara tentang hukum saham dan obligasi menurut pandangan hukum Islam, tentunya lebih dahulu harus difahami tentang apa essensi (hakikat) serta seluk beluk saham dan obligasi itu menurut kacamata ilmu ekonomi walaupun secara singkat.
Saham dan obligasi dua masalah terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan antara saham dan obligasi, ialah kedua-duanya merupakan surat berharga (efek) yang hanya dapat diperoleh di “bursa efek” atau “pasar modal” dengan jalan membeli.
Masing-masing dari saham dan obligasi itu mempunyai harga nominal pada saat dikeluarkannya dan mempunyai harga pasar. Sesuai dengan mekanisme dan hukum pasar yakni jika permintaan banyak dan barang sedikit maka harga saham akan naik, demikian juga sebaliknya jika barang banyak dan penawaran sedikit, maka turunlah harga. Dan masih banyak lagi factor internal maupun external yang dapat mempengaruhi harga saham dan obligasi, antara lain keadaan atau hal-hal lain yang melatar belakangi kondisi perusahaan yang mengeluarkan surat berharga itu juga sangat berpengaruh terhadap harga saham; Besar kecilnya keuntungan riil untuk saham dan tingkat bunga riil (fixet return) untuk obligasi. Demikian juga situasi ekonomi, politik dan keamanan nasional maupun global amat sangat berpengaruh terhadap naik turunnya harga saham dan bunga yang ditawarkan obligasi.





B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Saham Syariah ?
2. Apa pengertian Obligasi Syariah ?
3. Bagaimana Hukum Jual Beli Saham dan Obligasi ?
4. Bagaimana Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Saham dan Obligasi ?
5. Bagaimana perbedaan antara Saham dan Obligasi ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui Pengertian Saham Syariah
2. Untuk mengetahui Pengertian Obligasi Syariah
3. Untuk mengetahui Hukum Jual Beli Saham dan Obligasi
4. Untuk mengetahui Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Saham dan Obligasi
5. Untuk mengetahui Perbedaan antara Saham dan Obligasi













BAB II
PEMBAHASAN
A. Saham Syariah
1. Pengertian
Saham dapat didefinisikan sebagai surat berharga sebagai bukti penyertaan modal atau pemilikan individu maupun institusi dalam suatu perusahaan. Dengan bukti penyertaan tersebut pemegang saham berhak untuk mendapatkan bagian hasil dari usaha perusahaan tersebut. Apabila investor membeli saham, maka ia akan menjadi pemilik dan disebut sebagai pemegang saham perusahaan tersebut. Saham sendiri dibedakan menjadi dua jenis, yaitu saham atas nama dan saham atas unjuk. Saham atas nama, nama pemilik saham tertera diatasnya. Sedangkan saham atas unjuk, nama pemilik saham tidak tertera diatasnya, melainkan pemilik saham tersebut ialah yang memegang saham tersebut.
Menurut Soemitra, saham syariah merupakan surat berharga yang merepresentasikan penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan. Penyertaan modal dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah. Akad yang berlangsung dalam saham syariah dapat dilakukan dengan akad mudharabah dan musyarakah. Menurut Kurniawan (2008), Saham Syariah adalah saham-saham yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memiliki karakteristik sesuai dengan syariah Islam. Saham syariah adalah saham-saham yang memiliki karakteristik sesuai dengan syariah Islam atau yang lebih dikenal dengan syariah compliant .
Untuk itu dapat disimpulkan bahwa Saham Syariah merupakan surat berharga bukti penyertaan modal atas suatu perusahaan dengan sistem bagi hasil, karena itu tidak bertentangan dengan syariah Islam. Saham tersebut juga harus dikeluarkan oeh perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang halal. Mayoriti ulama sepakat dalam membolehkan pengeluaran dan pengedaran saham. Dalam Islam, saham pada hakikatnya merupakan modifikasi sistem patungan (persekutuan) modal dan kekayaan, yang dalam istilah fiqh dikenal dengan nama syirkah (mitra usaha). Pengertian syirkah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk menjalankan usaha tertentu, dengan keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, dengan resiko kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan konstribusi yang diberikan.
2. Karakteristik Saham Syariah
Konsep penyertaan modal dengan hak bagian hasil usaha ini merupakan konsep yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Prinsip syariah mengenal konsep ini sebagai kegiatan musyarakah atau syirkah. Berdasarkan analogi tersebut, maka secara konsep saham merupakan efek yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Namun demikian, tidak semua saham yang diterbitkan oleh Emiten dan Perusahaan Publik dapat disebut sebagai saham syariah. Suatu saham dapat dikategorikan sebagai saham syariah jika saham tersebut diterbitkan oleh:
1. Emiten dan Perusahaan Publik yang secara jelas menyatakan dalam anggaran dasarnya bahwa kegiatan usaha Emiten dan Perusahaan Publik tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip syariah.
2. Emiten dan Perusahaan Publik yang tidak menyatakan dalam anggaran dasarnya bahwa kegiatan usaha Emiten dan Perusahaan Publik tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip syariah, namun memenuhi kriteria sebagai berikut:
- kegiatan usaha tidak bertentangan dengan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam peraturan IX.A.13, yaitu tidak melakukan kegiatan usaha:
• perjudian dan permainan yang tergolong judi;
• perdagangan yang tidak disertai dengan penyerahan barang/jasa;
• perdagangan dengan penawaran/permintaan palsu;
• bank berbasis bunga;
• perusahaan pembiayaan berbasis bunga;
• jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) dan/atau judi (maisir), antara lain asuransi konvensional;
• memproduksi, mendistribusikan, memperdagangkan dan/atau menyediakan barang atau jasa haram zatnya (haram li-dzatihi), barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram li-ghairihi) yang ditetapkan oleh DSN-MUI; dan/atau, barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat;
• melakukan transaksi yang mengandung unsur suap (risywah);
- rasio total hutang berbasis bunga dibandingkan total ekuitas tidak lebih dari 82%, dan
- rasio total pendapatan bunga dan total pendapatan tidak halal lainnya dibandingkan total pendapatan usaha dan total pendapatan lainnya tidak lebih dari 10%.
Bagi emiten / perusahaan yang terdaftar dan sahamnya diperdagangkan di bursa saham, apabila memenuhi kriteria di atas, maka bisa digolongkan sebagai saham syariah. Dari sekitar 463 saham yang terdaftar saat ini, 300 di antaranya merupakan perusahaan yang sesuai dengan kriteria di atas. Investor tidak perlu repot-repot untuk membaca laporan tersebut satu per satu karena saham yang memenuhi criteria di atas dirangkum dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang diterbitkan oleh BAPEPAM-LK atau pihak yang diakui oleh BAPEPAM-LK dan daftar tersebut bisa diperoleh di situs www.bapepam.go.id dan www.idx.co.id (situs Bursa Efek Indonesia).
DES diperbaharui setiap 6 bulan sekali dan apabila ada emiten yang baru masuk bursa dan ternyata sesuai dengan kriteria di atas, maka bisa dimasukkan dalam DES tanpa harus menunggu periode 6 bulan. Kinerja saham-saham yang masuk dalam kategori syariah secara umum diwakili oleh 2 indeks yaitu Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) dan Jakarta Islamic Index (JII). Perbedaannya, ISSI merupakan cerminan dari seluruh saham yang masuk dalam kategori syariah, sementara JII hanya mengambil 30 saham dari DES dengan pertimbangan likuiditas, kapitalisasi dan faktor fundamental lainnya.

3. Aspek-aspek Kontraktual Saham Syariah
Dalam fiqh muamalah, pihak-pihak yang tergabung dalam persekutuan biasanya diikat melalui akad syirkah. Pemegang saham (shareholders) dalam syirkah disebut syarik. Dalam kenyataannya, para syarik ada yang sering berpergian, sehingga dapat terjun langsung dalam persekutuan. Dalam kondisi seperti ini, bentuk syirkah dimana para syirkah dapat mengalihkan kepemilikannya tanpa sepengetahuan pihak lain disebut musahamah. Bukti kepemilikannya disebut saham. Persekutuan (syirkah) dapat dibagi menjadi beberapa macam. Namun ditinjau dari segi keterlibatan dalam manajemen pengelolaan usaha, akad syirkah dapat dibedakan menjadi dua kemungkinan :
a. Apabila usaha berbentuk perusahaan persekutuan sehingga para investor dapat ikut secara langsung mengelola usaha, maka akad yang digunakan musyarakah. Sedangkan musyarakah sendiri jika kepemilikan saham masing-msing anggota perseroan jumlahnya sama disebut syirkah mufawadhah, sedangkan kalau kepemilikan berbeda satu dengan lainnya disebut syirkah inan
b. Kemungkinan kedua investor membeli saham perusahaan meskipun secara langsung tidak turut mengelola usaha yang dijalankan. Apabila hubungan investor dengan perusahaan sebatas kepemilikan saham tanpa disertai ketertiban langsung dalam pengelolaan usaha, maka akad yang digunakan mudharabah. Dikatakan demikian, karena dalam ketentuan ini pihak investor hannya bertindak sebagai shahib al-mal dan perusahaan sebagai mudharib.
Berdasarkan ketentuan tersebut, berarti para pemegang saham memungkinkan untuk ambil bagian dalam mengelola/ memiliki perusahaan. Besar kecilnya kemungkinan tersebut tergantung dengan besar kecilnya saham yang dimiliki. Semakin besar presentase saham yang dimiliki, maka semakin besar pula hak suara yang dimiliki untuk menentukan kebijakan perusahaan. Disamping itu, pemegang saham memiliki tanggung jawab terbatas terhadap klaim pihak lain sesuai dengan proporsi saham yang dimiliki. Kemudian karena alasan tertentu yang sah menurut hukum, pemegang saham juga berhak untuk mengalihkan sebagian/ seluruh kepemilikan sahamnya kepada pihak lain.
Untuk mengalihkan kepemilikan saham kepada pihak lain, maka akad yang digunakan ialah jual beli. Namun agar dapat dijual belikan, saham harus mempersentasikan kepemilikan asset rill dari suatu perusahaan. Disamping itu untuk melindungi hak kepemilikannya (nominal shares). Pencantuman atas nama pemilik saham ini sesuai dengan ketentuan fiqh yang mensyaratkan saham harus dibeli dari pihak yang bersangkutan (bai' al-dayn li al-madin). Sedangkan jenis saham atas unjuk (beares shares) yang tidak menyebut nama pemiliknya tidak berlaku dalam pasar modal syariah. Jual beli saham jenis ini menurut para ahli fiqh kontemporer hukumnya batal, karena tidak diketahui pemiliknya.

B. Obligasi Syariah
1. Pengertian Obligasi
Instrumen atau surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal ummnya dibedakan menjadi dua, yaitu surat berharga yang berbentuk utang dan surat berharga yang berbentuk kepemilikan. Obligasi merupakan bukti pengakuan utang dari perusahaan. Instrument ini disebut utang. Obligasi sendiri merupakan suatu perjanjian atau kontrak yang mengikat kedua belah pihak, antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Obligasi yang tercatat di bursa efek bisa diperdagangkan dengan cara yang sama seperti saham. Harga obligasi ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran di pasar. Dalam transaksi obligasi, investor harus membayar biaya komisi (commission fee) kepada paialang, tetapi tidak dikenakan biaya transaksi (transaction fee) oleh Bursa Efek Jakarta.
Obligasi juga berarti surat pinjaman dari pemerintah dan sebagainya yang dapat diperdagangkan dan biasanya dibayar dengan jalan undian tiap-tiap tahun. Atau perjanjian tertulis dari bank, perusahaan atau pemerintah kepada pemegangnya untuk melunasi sejumlah pinjaman dalam masa tertentu dengan bunga tertentu pula. Dengan demikian baik saham, obligasi maupun surat beharga lainnya, dapat diperdagangkan karena ada nilainya.
2. Obligasi Syariah
Sukuk merupakan obligasi syariah (islamic bonds). Sukuk secara terminologi merupakan bentuk jamak dari kata ”sakk” dalam bahasa Arab yang berarti sertifikat atau bukti kepemilikan. Sementara itu, Peraturan Bapepam dan LK Nomor IX.A.13 memberikan definisi Sukuk sebagai “Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak tertentu (tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share). Sukuk bukan merupakan surat utang, melainkan bukti kepemilikan bersama atas suatu aset/proyek. Setiap sukuk yang diterbitkan harus mempunyai aset yang dijadikan dasar penerbitan (underlying asset ). Klaim kepemilikan pada sukuk didasarkan pada aset/proyek yang spesifik. Penggunaan dana sukuk harus digunakan untuk kegiatan usaha yang halal. Imbalan bagi pemegang sukuk dapat berupa imbalan, bagi hasil, atau marjin, sesuai dengan jenis akad yang digunakan dalam penerbitan sukuk.
C. Hukum Jual Beli Saham dan Obligasi
Mekanisme jual beli saham dan obligasi sebagaimana diuraikan diatas menunjukkan bahwa jual beli saham dan obligasi adalah merupakan akad/transaksi kontemporer " معاملة مالية معاصرة " yang baru muncul pada XVI dan belum dibahas dalam fiqih-fiqih klasik. Imam-imam madzhab seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ahmad bin Hambal serta para mujtahid lain yang semasa dengan mereka belum pernah membicarakannya dalam kitab-kitab peninggalan mereka. Secara eksplisit nash Al-Qur-an dan As-Sunnah juga tidak pernah membicarakannya scara sharekh, karena itu masalah kajian hukum jual beli saham dan obligasi adalah termasuk masalah ijtihadiyah yang benar-benar baru.
Beberapa pandangan ulama’ kontemporer :
1. Karena kompleksnya masalah saham dan obligasi, Dr. Muhammad Yusuf Musa, menganjurkan seyogiyanya masalah saham dan obligasi ini dibahas oleh “ahlu al-hilli wa al-addli” secara sinergi dan simultan dengan melibatkan berbagai ulama’ dengan berlatar belakang di berbagai macam disiplin ilmu yang relevan dengan permasalahannya, dalam hal ini adalah ulama’ fiqih, ahli hukum wadl’i/hukum umum serta para ahli ekonomi untuk bersama membahasnya sampai tuntas untuk menjadi pegangan umat.
2. Di kalangan ulama’ modern abad XX ada beberapa ulama yang telah terpanggil jiwanya untuk membahasnya secara konprenhensip untuk melakukan ijtihad/pengkajian terhadap masalah ini antara lain :
a. Dr. Mahmud Syalthouth mantan Rektor Universitas al-Azhar Mesir, berpendapat bahwa jual-beli saham itu dibolehkan oleh Islam sebagai akad “mudharabah”, karena pemilik saham ikut menangung untung dan rugi (profit and loss sharing); sedangkan obligasi diharamkan oleh Islam, karena didalamnya mengandung praktek riba berupa fixed return/interest yang bersifat permanent/tetap. (Syalthouth:355);
b. Dr. Yusuf al-Qordhawi dalam pembahasannya menjelaskan, bahwa menerbitkan saham, memiliki dan menjualbelikan serta melakukan kegiatan bisnis saham adalah halal, tidak dilarang dalam Islam, selama perusahaan yang didukung oleh dana saham tersebut tidak melakukan kegiatan bisnis yang terlarang, misalnya membuat minuman keras atau melakukan praktek ribawi. Adapun obligasi hukumnya dilarang, karena mengandung praktek riba (Dr. al-Qordhawi: Juz I h. 251-522);
c. Dr. Wahbah Az-Zuhaily menegaskan, bahwa melakukan kegiatan bisnis saham, hukumnya halal menurut agama, sedangkan bisnis obligasi itu haram, karena padanya mengandung praktek ribawi berupa bunga. (Dr. Wahbah Azzuhaily : Juz II h. 774
d. Syaikh Abdurrahman Isa berpendapat, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan oleh agama, termasuk saham-saham yang dipergunakan untuk mendukung perbankan, sekalipun sebagian besar kegiatan perbankan itu untuk perkeriditan dengan sistem bunga, karena keberadaan bank dewasa ini dalam tatanan ekonomi negara modern sebagai lembaga yang harus ada dan bersifat dlarurat, oleh karena itu saham untuk mendukung perbankan adalah halal.
Adapun jual-beli obligasi yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan yang tidak menginfestasikan dalam pembangunan proyek-proyek produktif, tetapi dimanfaatkan dana yang terkumpul untuk kegiatan ribawi (kredit dengan sistem bunga) maka tidak boleh (haram) menurut agama, kerena pemegang obligasi statusnya sama dengan pemberi kredit dengan bunga yang sudah ditentukan. Sebaliknya jual beli obligasi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membiayai proyek-proyek yang produktif ; pertanian, perkebunan, industri dan lain sebagainya, maka diperbolehkan agama, karena persentase keuntungan yang akan diterima oleh pemilik obligasi itu adalah hasil mudlarabah, yakni bagi hasil antara pemilik modal (obligor) dengan pelaksana usaha yang dalam hal ini adalah pemerintah.
Dari pandangan dan pendapat empat ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa mereka semua sepakat memperbolehkan/menghalalkan bisnis saham sebagai akad mudlarabah (Syalthouth), sekalipun dana dari saham tersebut dipergunakan untuk mendirikan bank yang masih controversial di kalangan ulama mulai pendapat yang mengharamkan, syubhat sampai yang menghalalkan (Syaikh Isa, asal tidak digunakan usaha yang benar-benar haram, seperti ,mendirikan pabrik minuman keras (al-Qordhawi). Adapun sikap meraka terhadap hukum obligasi, sepakat mengatakan haram, karena mengandung praktek riba berupa fixed return. Hanya saja Syaikh Isa masih membolehkan obligasi untuk proyek-proyek pemerintah dalam usaha yang produktif dan bermanfaat serta bersifat dlaruri bagi kepentingan masyarakat, seperti proyek irigasi, air bersih (PDAM) dan dapat dikategorikan sebagai akad mudlarabah juga.
D. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI)
Saham dan obligasi bagian dari bentuk-bentuk investasi Reksadana. Semua usaha Reksadana hakikatnya dapat disyari’ahkan, demikian juga halnya dengan obligasi yang lebih kental dengan system riba karena mematok bunga tetap tidak ada profit dan loss sharing. Dewan Syari’ah Nasional-Majelis Ulama’ Indonesia (DSN-MUI) dalam fatwa-fatwanya secara tegas menetapkan bahwa dalam penentuan dan pembagian hasil investasi harus bersih dari unsur non-halal, mengingat bahwa kegiatan ekonomi syariah belum bisa terlepas sepenuhnya dari sistem ekonomi konvensional yang ribawi. Paling tidak, lembaga ekonomi syariah akan berhubungan dengan ekonomi konvensional yang ribawi dari aspek permodalan, pengembangan produk, maupun keuntungan yang diperoleh. Kaidah tafriq al-halal min al-haram (pemisahan unsur halal dari yang haram) dapat dilakukan sepanjang yang diharamkan tidak lebih besar atau dominan dari yang halal. Bila unsur haram dan halal telah dapat diidentifikasi maka unsur haram harus dikeluarkan.
Kaidah ini secara ringkas dapat dirumuskan bahwa harta atau uang dalam persepektif fiqh bukanlah benda haram karena zatnya (‘ainiyah) tetapi karena cara memperolehnya (kasbiyyah). Oleh karena itu, bila harta atau uang yang halal tercampur dengan yang haram sedangkan bagian yang haram dapat diidentifikasi dan dikeluarkan, maka harta atau uang yang tersisa adalah halal hukumnya. Pemikiran tersebut diyakini sebagai jalan tengah yang paling cocok untuk diaplikasikan di Indonesia. Selama ini dua pandangan mengenai masalah ini, ada yang mengharamkan mutlak dan ada yang membolehkan mutlak, sehingga manajer investasi harus melakukan pemisahan bagian pendapatan yang mengandung unsur non-halal dari pendapatan yang diyakini halal (tafriq al-halal minal haram). Penghasilan yang dapat diterima oleh Reksadana syariah adalah dari :
1) Saham berupa deviden yang merupakan bagi hasil keuntungan yang dibagikan dari laba yang dihasilkan emiten, baik dibayarkan dalam bentuk tunai atau dalam bentuk saham; rights yang merupakan hak untuk memesan efek lebih dahulu yang diberikan oleh emiten; capital gain yang merupakan keuntungan yang diperoleh dalam jual beli saham di pasar modal.
2) Obligasi yang sesuai syariah;
3) Surat berharga dari pasar uang yang sesuai dengan syariah;
4) Bagi hasil deposito dari bank-bank syariah. Sedangkan hasil investasi yang harus dipisahkan yang berasal dari non halal akan digunakan untuk kemaslahatan umat.
Fatwa tersebut telah diadopsi dalam Peraturan Peraturan Bapepam Nomor IX.A.13 Tahun 2009, di mana dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa efek atau instrumen (surat berharga ) yang tidak memenuhi prinsip-prinsip syariah dengan ketentuan selisih lebih harga jual dari nilai pasar wajar pada saat masih memenuhi prinsip-prinsip syariah, dipisahkan dari perhitungan Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa Dana dan diperlakukan sebagai dana sosial.
E. Perbedaan antara Saham dan Obligasi:
1. Pemegang saham ikut sama halnya dengan penyertaan modal, yang berarti turut memiliki perusahaan yang mengeluarkan saham. Sedangkan pemegang obligasi sama halnya ikut pemberi pinjaman kepada lembaga.
2. Pemegang saham bisa untung dan bisa rugi tergangtung pada keadaan perusahaannya. Sedangka pemegang obligasi selalu mendapatkan keuntungan berupa bunga yang selalu ditetapkan lebih dahulu presentasenya.
3. Saham bisa dicairkan bila sewaktu waktu dikehendaki melalui bursa efek, yang sudah tentu sedikit memerlukan waktu penyelesaian administrasinya. Sedangkan obligasi baru bisa dicairkan setelah jatuh tempo yang telah ditetapkan/diperjanjikan.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Saham Syariah merupakan surat berharga bukti penyertaan modal atas suatu perusahaan dengan sistem bagi hasil, karena itu tidak bertentangan dengan syariah Islam. Saham tersebut juga harus dikeluarkan oeh perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang halal. Mayoriti ulama sepakat dalam membolehkan pengeluaran dan pengedaran saham.
2. Sukuk merupakan bagian dari obligasi syariah. Namun sukuku bukan merupakan surat utang, melainkan bukti kepemilikan bersama atas suatu aset/proyek. Setiap sukuk yang diterbitkan harus mempunyai aset yang dijadikan dasar penerbitan (underlying asset ). Klaim kepemilikan pada sukuk didasarkan pada aset/proyek yang spesifik. Penggunaan dana sukuk harus digunakan untuk kegiatan usaha yang halal. Imbalan bagi pemegang sukuk dapat berupa imbalan, bagi hasil, atau marjin, sesuai dengan jenis akad yang digunakan dalam penerbitan sukuk.
3. Jual beli saham dan obligasi merupakan suatu akad/transaksi kontemporer yang baru muncul pada abad XVI dan belum dibahas dala fiqh-fiqh klasik. Imam-imam madzhab seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal serta para mujtahid lain yang semasa dengan mereka belum pernah membicarakannya dalam kitab-kitab peninggalan mereka. Secara eksplisit nash Al-Quran dan As-Sunnah juga tidak pernah membicarakannya secara sharekh, karena itu maslah kajian hukum jual beli saham dan obligasi adalah termasuk masalah ijtihadiyah yang benar-benar baru.
4. Dewan Syari’ah Nasional-Majelis Ulama’ Indonesia (DSN-MUI) dalam fatwa-fatwanya secara tegas menetapkan bahwa dalam penentuan dan pembagian hasil investasi harus bersih dari unsur non-halal, mengingat bahwa kegiatan ekonomi syariah belum bisa terlepas sepenuhnya dari sistem ekonomi konvensional yang ribawi. Paling tidak, lembaga ekonomi syariah akan berhubungan dengan ekonomi konvensional yang ribawi dari aspek permodalan, pengembangan produk, maupun keuntungan yang diperoleh.
5. Perbedaan mendasara antara saham dan obligasi terlihat jelas dari : penyertaan modal dari pemegang saham dan obligasi, keuntungan Pemegang saham yang tergangtung dengan keadaan perusahaannya dan waktu pencairan antara saham dan obligasi.

B. Saran
Dalam penjelasan dan penjabaran di atas pemakalah menyadari betul bahwa masih ada beberapa kekurangan, dikarenakan bahan pengetahuan yang terbatas. Maka dari itu untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai “saham dan obligasi syariah” para pembaca dapat mencari atau menambah sumber-sumber referensi dari buku lainnya. Meski demikian, pemakalah berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.


DAFTAR PUSTAKA
Anoraga. Pandji dan Piji Pakarti. 2001. Pengantar Pasar Modal. PT Rineka Cipta: Jakarta.

Pasar%20Modal%20Syariah%20Indonesia%20%20saham%20syariah%20_%20Bersama%20Menuju%20Kebaikan.htm. diunduh pada tanggal 27 Nov 2015. Pukul : 06:41
Aibak. Kutbuddin. 2006. Kajian Fiqh Kontemporer. Elkaf: Surabaya
Sebuah%20Pembelajaran%20%20SAHAM%20DAN%20OBLIGASI%20MENURUT%20HUKUM%20ISLAM%20PERSPEKTIF%20ULAMA'%20KONTEMPORER.htm. diunduh pada tgl 27 Nov 2015. Pukul 06:30




Komentar

Postingan populer dari blog ini

BISNIS INTERNASIONAL : MANAJEMEN STRATEGI INTERNASIONAL

Lyrics Jennie (Blackpink) - SOLO [Hangul + Romanized + English Translation]